Rambu-rambu Paradigma Evaluasi Pembelajaran Seni Musik
Nusantara
Susilo Pradoko, M,Si.
Seni Musik FBS UNY
A.Perspektif dalam Kajian Seni Musik Nusantara.
Seni musik nusantara adalah
seni musik yang ada di seluruh wilayah nusantara dari Sabang hingga Meraoke. Selain seluruh
nusantara memiliki beribu pulau juga sekaligus memiliki lebih dari 640 suku
yang tinggal di seluruh wilayah nusantara. Seni musik yang hidup dan berkembang
dari ratusan suku masyarakat Indonesia itulah yang merupakan musik nusantara.
Musik
yang hidup, dihidupi serta berkembang milik masyarakat tertentu, milik suku
inilah yang menurut Jaap Kunst sebagai wilayah Etnomusikologi , yaitu ilmu
musik milik etnis masyarakatnya.(Kunst, 1959). Dalam etnomusikologi ada perspektif
tersendiri dalam memandang musik etnis yaitu: (1).Musik hanya bisa dipahami
berdasarkan konteks kultural di mana
musik itu berada. (selanjutnya dituliskan perspektif 1) . (2) Kriteria Baik dan
Buruk sesuai kaidah estetis dan etis masyarakatnya.(selanjutnya dituliskan
perspektif 2) (Harahap dkk, 2000: 3)
Musik
Nusantara adalah musik-musik etnis yang berada di seantero Nusantara maka
perspektif yang digunakan dalam menilai dan mengkaji khususnya makna musik nusantara bagi masyarakatnya akan sangat tepat bila diletakkan pada
proporsi dalam perspektif 1. Apabila kajian makna simbolik misalnya tidak
diletakkan pada perspektif 1 maka akan
menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna dan dapat menimbulkan penilaian buruk bagi
masyarakatnya. Kesalahan tafsir misalnya penghakiman isi syair musik, sebagai
masyarakat yang tidak mau maju, atau bodoh gara-gara mendengarkan salah satu
musik etnis yang isi syirnya berarti jangan membeli baju, jangan membeli baju
Oshamalo, membeli baju sama dengan
sengsara, sama dengan kesulitan. Setelah dilihat menurut perspektif 1 ternyata
bermakna nasehat agar tidak membeli baju dari orang Oshamalo karena mereka
rentenir dan pembuat sengsara masyarakat yang menciptakan lagu tersebut.
Makna lugas dari suatu syair lagu juga
kadang bukan dalam arti sebenarnya bila dilihat dengan perspektif 1. Rahayu
Supanggah memberikan contoh lagu dolanan anak Jawa dengan judul Koning-koning
sebagai berikut:
“ Koning-koning kawula kae lara kae lara.
Ngenteni si Khodhok langking. Ndok siji kapipilan, ndok loro kacomberan Doyak-doyak tawon goni …… Arti bebas sebagai berikut: Koning, koning
(kuning), itulah saya rakyat yang pada
sakit. Menantikan sikatak hitam. Satu telor diambil, dua
telor dirusaknya. Doyak-doyak (beramai-ramailah) si lebah madu. ……. Arti tafsir pemaknaan sesuai dengan konteks kultural
dan hitorisnya sebenarnya sebagai berikut: Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja),
lihatlah para rakyatmu yang pada menderita.
Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak hitam, katak buruk
yang tidak ada manfaatnyadan nggak enak dimakan seperti layaknya katak hijau,
namun apa hasilnya ? Anak yang semata
wayangpun (telor digunakan sebagai simbul
benih keturunan) kamu (bangsawan) ambil, dan telah banyak anak-anak kami
lainnya yang kamu rusak, ayau kamu lecehkan.
Kamu dating beramai-ramai bagaikan lebah yang hanya ingin menghisap
madu. ……. (Supanggah, 1996: 8)
Penafsiran,
pemaknaan serta memahami fungsi musik bagi masyarakatnya bila tanpa pemahaman (versteken) konetks kultural dimana
musik itu berada maka akan sangat mungkin terjadi kesalahan penafsiran makna,
apalagi bila penafsirannya berdasarkan cara pandang kita sendiri, pengalaman
budaya kita sendiri. James Zanden menuliskan sebagai berikut:
“ We
cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do
in the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine
their behavior as insider, seeing it within the framework of their values,
beliefs and motives. This approach, termed cultural relativism, suspend
judgement and views the behavior of people from the perspective of their own
culture” (Zanden, 1988: 69)
Kriteria baik-buruk
musik etnik sesuai dengan kaidah etis
dan estetis masyarakat pendukungnya. Ukuran dan nilai-nilai keindahan musik berbeda
dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain termasuk berbagai jenis musik yang ada dalam masyarakat tersebut.
Musik gamelan sekaten pada masyarakat lingkungan Keraton sekalipun dapat
dianggap bukan musik yang estetis bila
ukuran yang dipakai adalah standar musik barat di mana ada unsur harmoni yang
memiliki berbagai jenis akor tingkat satu hinga tingkat tujuh baik dalam tangga
nada mayor maupun minor. Mengapa seseorang mengatakan musik sekaten bukan musik
? Jawabannya adalah karena musik gamelan sekaten tersebut tidak ada akornya,
tidak ada jenis-jenis akord C, A minor, D minor , G dan seterusnya, sehingga
disimpulkan sebagai musik yang buruk karena harmoninya tidak ada/tidak memenuhi
criteria akor dan sebagainya.. Perdebatan sejenis tentang musik dan bukan musik
ini sering terjadi dalam masyarakat,
mengukur estetika dan etika musik
melalui perspektif budaya lain adalah tidak tepat.
Aturan-aturan serta
estetikanya musik seriosa juga termasuk teknik-teknik vokalnya akan berbeda dengan aturan, etika serta
teknik vokal dalam penyanyi sinden, atau
penyanyi keroncong atau penyanyi campur sari maupun penyanyi musik lain yang
terkait dengan jenis musik etniknya serta kebiasaan budaya masyarakatnya. Sangat
berbahaya jika kita menilai penyanyi sinden dengan krtiteria secara teknik
vokal seriosa, para penyanyi sinden karakter cempreng menjadi salah satu
cirri karakternya sebab hal ini berhubungan dengan nuansa suara gamelan.
Sebaliknya dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa lebih dituntut dengan teknik
suara yang lebih bulat, tak boleh cempreng demikian pula untuk para penyanyi
paduan suara tidak boleh cempreng . Untuk
lebih jelasnya bagaimana suara cempreng yang dimaksud bisa didengarkan ketika
kita mendengarkan suara gamelan kemudian muncul suara pesindennya atau para
pesindennya. Hal yang berbeda bila kita mendengarkan para penyanyi tungal
seriosa maupun festival paduan suara dengan latar musik barat.
B. Penerapan Perspektif 1, 2 dalam Evaluasi Pembelajaran Seni Musik
Nusantara.
1. Karakter Melodi
Karakter melodi musik nusantara berbeda antar
jenis musik yang satu dengan jenis musik yang lain. Salah satu karakter khusus
adalah pada jenis tangga nada yang dipakai, aspek ini sangat penting sebab
dapat berdampak pada pilihan nada-nada melodi bahkan pada perpaduan
nada-nadanya serta peralatan musik yang digunakan. Ada berbagai tangga nada
yang dipakai dalam musik nusantara antara lain pelog, slendro, jenis pentatonik
lain dengan nada-nada khusus serta tangga nada diatonik.
Tangga
nada pelog model ketepatan frekwensi pada gamelan berbeda-beda antar gemelan
satu dengan yang lain namun bila dimiripkan atau sering diitilahkan dengan quasi dengan suara nada-nada diatonis
maka suara deretan nada-nadanya adalah nada 3 (mi), 4 (fa), 5 (sol), 7 (si) , 1
(do). Sedangkan tangga nada Jawa Barat,
Sunda disebut dengan da, mi, na , ti, la, da untuk urutan dari suara tinggi
bersuara quasi c, b, g, f, e. dengan model tangga nada ini maka ukuran
ketepatan melodinyapun menggunakan nada-nada ini, jadi tidak ada bunyi nada 2
(re) maupun 6 (la). Contoh lagu yang
tergolong tangga nada ini misalnya: Lagu Janger (Bali), Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah),
Gambang Suling (Jawa), Jenang Gula (Jawa), Yu Batur batur (Sunda)
Tangga
nada slendro bila di-quasi-kan
memiliki deretan nada-nada sebagai berikut: 1 (do), 2 (re), 3 (mi) , 5 (sol), 6
(la), tangga nada ini tidak memiliki nada 4 (fa) dan 7 (si), jadi baik dalam
permainan musik maupun dalam pengontrolan pitch
penyanyi tanpa muncul nada 4 dan 7. Contoh
lagu yang tergolong tangga nada ini misalnya: Tanduk Majeng (Madura), Gambang Semarang ( Jawa Tengah), Ondel-ondel
(Jakarta), Gado-gado (Jakarta).
Tangga
nada untuk daerah-daerah tertentu agak berbeda misalnya Batak Toba, susunan
nadanya kurang lebih seperti c, d, e, f, g. Sedangkan Batak Karo nadanya kurang
lebih seperti e, f, a, b, c. Masyarakat melayu Sumatera Timur menggunakan 7
nada ( heptatonik), nadanya kurang lebih seperti c, des, e, f, g, a, bes.
Sedangkan masyarakat Bogis Sulawesi memiliki pula heptatonis dengan susunan
nada seperti a, b, c, d, e, fis, gis namun tidak tepat seperti itu karena
memiliki penalaan frekwensi tersendiri. (Harahap, 2005: 79).
Selain
memperhatikan control pitch yang sesuai tangga nadanya masing-masing sesuai
karakter daerahnya juga perlu mempertimbangkan jenis musiknya. Salah satu
contoh jenis musik kroncong misalnya, keindahan lagunya bukan pada ketepatan
bidikan nada-nadanya tetapi keindahannya justru saat penyanyi mampu memberikan
tambahan nada-nada yang lain, selain nada yang dituliskan dalan notasi lagu.
Para penyanyi keroncong harus bisa memberikan teknik cengkok, tambahan nada-nada untuk menghias lagu; gregel, tambahan nada dengan durasi not
yang lebih sedikit dg nada disekitarnya; Ngandul,
melodinya justru dilambatkan dari iringan musik namun akhirnya dapat di
tepatkan. Karakter khusus pembawaan
keroncong ini tidak didapat dalam musik popular mupun musik seriosa, maka
menilai musik keroncong harus dengan aturan-aturan dan estetika yang terdapat
dalam musik keroncong dan sebaliknya.
2. Karakter Harmoni
Setiap tangga nada musik yang dipakai oleh
masyarakat pemusiknya berpengaruh pada harmoni serta aransemen musiknya.
Deretan nada-nada dalam tangga nada itulah yang menentukan harmoninya, karena
distribusi paduan nada sebenarnya diambil dari nada-nada yang ada dalam tangga
nada yang dipakai. Kesalahan perspektif tangga nada berakibat ketidak cocokan
dalam menilai maupun memainkan serta membuat harmoninya.
Sering
terjadi kesalahan pada penerapan harmoni akor ini, tangga nadanya penta tonik
namun jenis akornya menggunakan model
diatonik sehingga irngan musik menjadi kurang tepat. Sebagai pendidik bila mengajarkan hal seperti
ini maka kita mengajarkan hal yang keliru, karena mengajarkan hal yang keliru
maka evaluasi pembelajarannyapun ikut salah. Agar lebih jelas maka mari kita
lihat contoh kasus lagu Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah) antara melodi dengan iringannya,
harmonisasinya. Lagu Suwe Ora Jamu ini diberi harmonisasi akor I (C) dan akor
IV (F) versi harmoni diatonis sehingga nada-nada harmoninya menjadi tidak
tepat, kurang cocok didengarkan sesuai kategori pelog gamelan Jawa. Kita lihat
berikut ini contoh lagu dan iringannya.:
Saat melodi birama ke dua diiringi dengan
akor I (C) maka masih tepat, cocok sebab isi akor C adalah nada-nada do, mi dan
sol hal ini masih sesuai dengan kategori quasi
pelog yang memiliki nada-nada mi, fa, sol, si, do , masih sesuai
dengan pelog sebab ada nadanya. (nada-nada yang diberi garis bawah). Namun
pada akor IV (F) tidak tepat sebab akor F berisi nada-nada fa, la, do sementara
quasi pelog tidak memiliki nada la
(6). Guna mengatasi hal ini serta agar karakter lagu masih tetap dalam koridor
tangga nada pelog maka dipilih perpaduan
nada-nada sol, si dan fa atau kita dapat mengiringi dengan akor G7 namun nada
re (2) tidak kita bunyikan. Sehingga iringannya tampak
sebagai berikut:
( unsur nada do, mi, sol pelog) (unsur nada sol, si, fa pelog)
Paradigma pelog bila tetap digunakan maka walaupun dengan alat musik
keyboard maka suasana pelog jawa akan tetap terbentuk.
Lagu-lagu yang
menggunakan jenis tangga nada slendro isi quasi nada-nadanya adalah do, re, mi,
sol, la. Demikian pula cara memberikan harmonisasi nada-nadanya menggunakan paradigma tanga nada slendro jadi
kita tidak tepat bila menambahkan nada si dan fa untuk iringan/harmonisasi lagu
slendro. Berikut kita lihat contoh kasus lagu Tanduk Majang (Madura).
Pada saat memberi harmonisasi dengan memilih akor IV (F) tidak tepat
sebab unsure akor f nadanya berbunyi fa, la, do, sementara nada slendro tidak
memiliki nada fa. Demikian pula saat memilih, mengiringi dengan akor V (G)
tidak tepat sebab akor G memiliki nada-nada sol, si dan re sementara nada
slendro tak memiliki suara nada si, maka iringan/harmonisasinya sebaiknya. menggunakan nada-nada milik
anggota slendro saja.
Akor nada: (do,mi,sol masih milik
t.n.slendro ) (re, sol, la juga slendro)
Sebagai pendidik bila mengajarkan lagu slendro maka akor yang
diajarkan untuk mengiringi bukan dengan paradigma harmoni diatonik t.n. mayor (
I,ii, iii, IV, V, vi, vii0) maupun t.n. minor harmonis (i, ii, III+, iv, V,
VI,vii0) namun harmoni laras slendro, setidaknya menggunakan nada-nada dalam
t.n slendro.
Dalam kurikulum KTSP ada materi kompetensi
standar mengaransir lagu sederhana. Agar aransemennya menjadi nuansa musik
nusantara, etnik maka harmoni yang dipilihpun bukan model diatonis namun
memilih nada-nada pentatonisnya atau nada-nada yang ada dalam t.n yang
digunakan dalam musik nusantara tersebut. Contoh
aransemen sederhana dengan 2 suara untuk lagu pelog dan slendro:
Lagu Suwe Ora Jamu , tangga nada quasi
pelog:
Dalam aransemen dua suara ini tidak digunakan nada re (d) dan la
(6); biasanya bila dengan perspektif diatonis maka suara duanya menjadi urutan
nada-nada ini: do re, mi mi , do re mi
.. . , do re re mi do re…..
dst.
Lagu Tanduk Majang, tangga nada quasi slendro:
Dalam aransemen dua suara ini tidak menggunakan nada fa (f) dan si
(b)., bila dengan diatoni mayor aransemen suara dua jadi: do remi,
mifa,mifa, fa mi do si, aransemen ini
tidak tepat dengan suasana nada-nada slendro.
3. Karakter Ritme
Karakter ritmis musik daerah nusantara banyak yang
menggunakan model polifoni, melodi ritmik yang sama, hampir sama saling susul
menyusul; penggunaan nada-nada yang lebih kecil dan vairasi ritmiknya;
menggunakan nada-nada loncatan 1/16-an, lagu-lagu Batak, Kalimantan.
Polifoni:
Lagu Suwe Ora Jamu.
Dengan nada- nada yang hanya lima maka
dengan model polifoni, saling susul menyusul antar melodinya suara satu, dua
dan seterusnya maka suasana etniknya menjadi meriah.
Variasi ritmik dengan nilai not yang
berbeda namun bisa dengan nada yang sama maupun berbeda namun masih dalam
tangga nada yang digunakan.:
C.Kesimpulan
Rambu-rambu
fungsi,peranan dan nilai-nilai etika serta estetika musik nusantara harus dilihat dalam konteks bagi kegunaan
masyarakat pendukungnya itu sendiri. Nilai-nilai estetikanya musik Nusantara
terletak pada perspektif pemilik budaya musik itu sendiri bukan dengan kriteria
budaya yang berbeda. Perspektif dalam etomusikologi ini bila tidak diterapkan
sebagai pola gagasan maka sebagai pendidik akan keliru dalam memaknai seni
tradisi nusantara dan sekaligus pula keliru dalam penerapan pembelajarannya
seterusnya berakibat pada kekeliruan dalam memberikan evaluasi tehadap musik
tradisi nusantara.
Daftar Pustaka
Harahap, Irwansyah, Jabatin Bangun dan Ester Siagian 2000. Ethnomusikologi Diktat
Pelatihan Radio
Musik Etnik.
_______________. 2005. Alat Musik Dawai . Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara
Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology.
Amsterdam:
Martinus Nijhoff
Parto, F.X Suardjo 1989. “Musik Etnisitas dan Abad XX” Dalam: Musik Seni Barat
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradoko, Susilo 1996. “Paradigma Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi.”
Dalam
Diksi.Yogyakarta: FBS IKIP
Yogyakarta.
____________ . 2004. ” Teori-teori
Realitas Sosial dalam Kajian Musik”.Dalam
Imaji
Yogyakarta: FBS UNY
Siagian, Esther L. 2005. Gong. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara
Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi bagaimana ia berbicara ?
Makalah: Penataran
Peneliti Madya. Surakarta STSI Surakarta.
Widyawan, Paul. 1976. Ondel-ondel.
Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Zanden, James W.V. 1988 The
Social Experience. New York:
Random House Inc.