Anak Didik

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Menuju Pengembangan Paradigma Evaluasi Pendidikan



Oleh: Susilo Pradoko
Hasil uji tingkat internasional bidang penalaran yang diselenggarakan oleh Trends in International Mathemathics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assesment (PISSA) siswa kita dikategorikan sebagai tak cukup bernalar. (Iwan Pranoto, Kompas 20 Feb.2013).Posisi capaian skor Indonesia berjarak 11 negara,  jauh di bawah Malaysia, tergolong terrendah hanya di atas Marocco dan Ghana (TIMSS and PIRLS Achievement 2011). Sementara tingkat tataran menghafal termasuk pada tataran tinggi,  ini menunjukkan bahwa model pembelajaran sekaligus sistem evaluasi pembelajarannya mengakibatkan murid menjadi ahli menghafal namun kurang  dalam  bernalar.
Sekalipun model pembelajaran di kelas dengan sistem bernalar, ujung proses dari pembelajarannya berupa evaluasi  model tes hafalan,  maka proses pembelajaran tadi menjadi kurang berarti, sirna dengan evaluasi akhir. Sebagai contoh, seorang guru A yang dipercaya mengajar dalam kelas selama satu semester namun soal-soal evaluasi akhir semester dibuat oleh Guru B , maka akan terjadi distorsi di sana-sini dari apa yang diberikan oleh A termasuk segala kelebihan dan kurangannya,  dalam hal ini murid yang dirugikan sekalipun keduanya menggunakan garis besar silabus-kurikulum yang sama.   Karenanya para murid  lebih senang mempersiapkan dengan mengantisipasi membahas model soal-soal tes (yang dibuat oleh guru B) demikian halnya dengan model soal-soal ujian yang dibuat pada tingkat nasional, murid dan guru sama-sama mengantisipasi dengan melakukan latihan-latihan soal-jawab ujian nasional.  Model tes hafalan ini mewujud  pada soal-soal yang sifatnya pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan. Jawabannya sebetulnya sudah tersedia, siswa tinggal memilih dari jawaban yang tersedia tersebut dengan menyilang, mencentang, ataupun menghitamkan pada lembar jawaban.
Model tes pilihan ganda yang diterapkan guna mengukur penentuan lulus tidaknya siswa dalam ujian nasional menjadikan alat ukur tersebut menjadi tujuan primadona bagi siswa dan sekolahnya. Melalui model-model soal-soal pilihan ganda tersebut para siswa didrill, dilatih kurang lebih sebulan menjelang mereka ujian, untuk menghafal model soal-soal serta menghitamkan jawaban yang sesuai. Hal inilah yang dilakukan beberapa sekolah menjelang ujian nasional bahkan waktu pembelajaran reguler diberhentikan diganti dengan pembelajaran model latihan soal-soal  tahun sebelumnya atau yang mirip dengan soal-soal pilihan ganda ujian nasional. Mentalitas  ini pulalah yang membuat bimbingan belajar SD,SMP dan SMA sangat laku. Penulis pernah berasumsi bahwa anak-anak SMA tidak perlu sekolah selama 3 tahun, mereka cukup belajar selama 1 tahun melatih model soal-soal ujian nasional beserta kisi-kisinya di bimbingan belajar,  maka mereka akan lulus ujian nasional tingkat SMA. Jika hal ini benar,  maka implikasinya sangat  luas dalam berbagai aspek  pembelajaran di sekolah.
Model soal-soal pilihan ganda ini di satu sisi memang mengandung beberapa keuntungan antara lain: dalam waktu yang singkat mampu memberikan soal yang banyak, cakupan materinya juga bisa lebih banyak, memudahkan untuk mengkoreksi, penghematan waktu koreksi, mekanisasi melalui lembar jawaban dan pemindaian dengan komputerisasi sehingga mampu mengoreksi secara missal dalam waktu yang singkat.  Namun di sisi lain,  unsur penalaran siswa kurang mewujud, proses pola pikir individu tidak terdeteksi, hak individu untuk menguraikan proses berfikir, alasan serta gagasannya selama memperoleh ilmu sejalan dengan capaian paradigmanya tidak dapat terungkap, mengutip Iwan Pranoto: “Satu perusak budaya bernalar paling efektif adalah ujian nasional” (kompas 23 Februari 2013, hal 7). Jawaban soal dalam ujian nasional bisa dilakukan melalui gambling,” menghitung kancing baju”   anak di bawah rata-rata bisa jadi memiliki skor yang tinggi, apa lagi yang mendapat  jawaban soal ujian  tinggal menghitamkan huruf-hurufnya.
Tampaknya model tes ujian pilihan ganda sejalan dengan pemikiran positivisme dimana cirri-ciri pemikiran positivism adalah: metode ilmu pengetahuan alam diterima sebagai fundasi pengetahuan yang valid, Hukum-hukum alam sama dengan hukum-hukum dalam social, universal sain,  hukum berlaku umum,  manusia sebagai obyek observasi empiris melalui rumus-rumus alam yang berlaku universal serta penggunaan metode empiris kuantitatif mewujud berupa penghitungan angka-angka. Penggunaan hipotesa dan menerapkan obyektifikasi terhadap dunia sosial, manusia.
Sebagaimana dikemukakan Schleiermarcher, Dilthey, Gadamer maupun Habermas, jika ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften)  berhubungan dengan fonomena alam yang seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif dianggap tepat diterapkan untuk menjelaskan fenomena alam dan menemukan hukum-hukum alam. Sementara pada ilmu pengetahuan yang termasuk pada Geisteswissenschaften,   maksudnya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora), fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan mudah dipengaruhi lingkungan social budaya. (Metodologi Postmodernis. Akhyar Yusuf Lubis, 2004: 56)
Dalam pandangan aliran pemikiran Postmodern terjadi hubungan dialogis antar subyek dan obyek, the other, liyan, orang lain memperoleh pengakuan, penghargaan maka observasi memungkinkan partisipan mengutarakan pemikiran dan tindakkannya secara alamiah sebab merupakan keunikan dari Geisteswissenschaften tersebut dengan segala aspeknya. Tampaknya dasar pemikiran postmodern inilah yang juga dipakai di Finlandia dimana guru bebas merancang pembelajaran serta sekaligus model evaluasinya, bahkan di sana tidak ada ujian nasional sebagai penentuan kelulusan tingkat dasar dan menengah, namun ternyata justru menduduki rangking paling atas capaian skor  TIMSS 2011 tingkat internasional.
Sejalan dengan paradigma pemikiran postmodern,  anak didik kita adalah pribadi-pribadi yang juga memiliki pemikiran-pemikiran dari hasil proses pendidikan baik dalam lingkungan keluarga maupun terlebih lingkungan sekolah , mereka perlu diberi kesempatan untuk mengungkapkan proses bernalarnya melalui ungkapan tertulis sekaligus penghargaan terhadap pribadi siswa. Sehubungan dengan itu maka model soal-soal tes ujian akhir terlebih ujian nasional bukanlah melulu model pilihan ganda yang sangat mekanik, namun dibuat juga model-model soal uraian sehingga mampu melatih siswa untuk bernalar dan mengungkapkan pendapat berdasarkan ilmu yang telah diterimanya melalui tulisan,  syukur bila memungkinkan melalui lisan, baik itu ilmu-ilmu sain maupun ilmu-ilmu sosial. Di sisi lain memang diakui terdapat kesulitan teknis untuk pengkoreksian model soal-soal uraian khususnya bila diterapkan dalam ujian nasional, namun kiranya dapat didiskusikan dan ditemukan solusinya malalui para ahli pendidikan.
                                                                                    Jakarta, 21 April 2013

Susilo Pradoko
Dosen UNY, studi S3 FIB UI.

Kamis, 23 Mei 2013

Seandainya Aku Seorang Guru



Seandainya aku seorang guru, aku menangis.
Katanya aku bebas merancang kurikulum sekolah,  tetapi rancangan kurikulumku tak berlaku
Katanya aku bebas menguji,  tetapi aku tidak pernah membuat soal
Kapan aku seperti arsitek yang bangga  rancangan dan bangunannya  ?
Katanya aku bebas mengembangkan materi,  tetapi waktuku di kelas tidak cukup
Katanya materiku satu semester,  tetapi hanya 2/3 semester
Kapan aku seperti pilot, yang bangga penguasaan teknologi dan  kemampuan jam terbangnya  ?
Katanya aku bebas memilih metode, tetapi  metodeku ternyata hanya satu
Katanya aku bebas memilih alat pembelajaran, tetapi alatnya tidak ada
Kapan aku seperti dokter bedah yang bangga dengan terapan teknologi dan kesehatan pasiennya ?
Katanya aku melatih bernalar,  tetapi  untuk latihan hafalanl
Katanya aku dilatih professional,  tetapi aku cuma mengerti bahwa aku tidak professional
Kapan aku seperti  militer, yang bangga  strategi dan kemampuan bela Negara nya  ?
Katanya aku sudah professional,  tetapi jam mengajarku kurang
Katanya muridku merasa senang denganku, tetapi aku tidak menerima profesionalku
Kapan aku seperti dokter, yang bangga diagnosa dan kesembuhan pasiennya ?
Katanya muridku dites kecakapan berfikir , tetapi hasilnya mengecewakanku
Katanya aku guru pembelajaran yang memerdekakan,  tetapi   bebanku membuat lena  berfikir  itu
Kapan aku seperti  kyoshi  Jepang, yang bangga kemajuan negara berkat bunga sakuranya ?

Tolong …….,   Tolonglah aku, entah bagaimana caranya !
Setidaknya,  tolong aku dinyanyikan  lagu,  Mashiro Ki Fujino  untuk menghibur  hatiku


Beji, 17/2-2013
Susilo Pradoko
Pengkaji Seni, Dosen UNY

Minggu, 12 Mei 2013

Interpretasi dan Evaluasi Kajian Makna Seni Budaya Nusantara


 Interpretasi dan Evaluasi Kajian  Makna Seni  Budaya Nusantara

A.M.Susilo Pradoko *)
Universitas Negeri Yogyakarta

A.Kebudayaan (Culture)

Kebudayaan (culture) memiliki arti yang sangat kompleks. A.Krober dan C.Kluckhon (dalam Hubertus Muda) mengumpulkan sebanyak 160 definisi kebudayaan. Dalam bukunya berjudul Culture, A Critical Review of Concept and Definitions tahun 1952.  Edward B.Tylor (1871) mengungkapkan arti kebudayaan sebagai berikut: “Kebudayaan adalah keseluruhan yang merangkum pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan adat kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat”. (Muda, 1992:9) Kajian kata kunci  (keyword) tentang  kebudayaan ditulis oleh Raymon William (1985) dalam bukunya “Culture, Keyword A.Vocabularry of culture and Society.
Tiga arti penting kata kebudayaan menurut Wiliam sebagai berikut:

But we go beyond the physical reference, we have to recognize three broad active categories of usage. The sources of two of these we havealready discussed: (i) the independent and abstract noun which describe a general process of intellectual, spiritual and aesthetic development, .. (ii) the independent noun, whether used generally or specifically, which indicates a particular way of life, whether of apeople, a period, a group, or humanity in general, from Herder and Klemm. But we have also to recognize iii) the independent and abstract noun which describe the works and practices of intellectual and especially artistic activity. This seems often now the most widespread use culture is music, literature, painting and sculpture, theatre, and film”  (Wiliam, 1985: 90)

(Tapi kita melampaui referensi fisik, kita harus mengakui tiga kategori aktif yang luas dari penggunaan. Sumber dua ini telah kita bahas: (i) kata benda abstrak yang independen dan menggambarkan proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetika,;   (ii) kata benda independen, apakah digunakan secara umum atau khusus, yang menunjukkan cara hidup tertentu, apakah suatu kaum, periode, kelompok, atau kemanusiaan secara umum, dari Herder dan Klemm. Tapi kita harus juga mengakui: iii) kata benda abstrak yang independen dan menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan terutama artistik. Hal ini tampaknya sering sekarang budaya penggunaan paling luas adalah musik, sastra, lukisan dan patung, teater, dan film).

           
            Pengertian kata kunci pertama adalah kata benda abstrak menggambarkan proses perkembangan intelektual, spiritual dan estetika. Kata kunci kedua menyatakan kata benda independen yang menunjukan cara hidup tertentu. Sedangkan kata kunci ketiga adalah kata benda abstrak yang independen dan menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan terutama artistik..
            Salah satu arti kebudayaan yang sering digunakan dalam kajian budaya adalah arti kebudayaan menurut C.Geertz. yang mengungkapkan teori tentang arti kebudayaan sebagai berikut:  “ The culture concept …… it denote an historically transmitted pattern of meaning embodied in symbols, a system of in herited conceptions expressed in symbolic forms by means of which  men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes to ward life”.( Geertz, 1973: 89). Definis Gertz ini membuka cakrawala kita bagaimana kita mampu mengkaji kebudayan suatu masyarakat dengan teori ini.  Teori ini lebih menekankan bahwa kebudayaan merupakan pola-pola arti yang dikemas dalam bemtuk symbol dan melalui symbol itu manusia berperilaku dan mempertahankan hidup.
B.Aliran Penginterpretasian Makna Karya Seni
1.Aliran Referensialisme.
Sudut pandang referensialisme  melihat bahwa arti karya seni terdapat di luar karya itu sendiri.:
“ According to this view, the meaning and values of a work of art exist out side of the work it self. To find an art work’s meaning, you must go to the ideas, emotions, attitudes, events, which the art work refers you to the world out side the    art work. The functioan of the art work is to remain you of, or tell you about, or help you understand, or make you experience, samething which is extra-artistic, that is some thing which is out side the crated thing and the artistic qualities which make it a created thing….  Every work of art is inflenced by a variety of circumstances impinging on the choices the artist made in creating it. Some this stem of the artist-his or her personal or professional history, present life situation, characteristic interest, internalized influences, from ather atist and so on. Other circumstances stem from the culture within which the artist work, the general beliefe system about the arts, important past and present political events, the existing social structure within which the artist plays a part and so on” (Reimer, 1989: 17).

Cara  melihat  referensialis dalam memaknai karya seni dengan melihat lingkungan dimana seni itu diciptakan, mempertimbangkan lingkungan budayanya, lingkungan religinya, kejadian saat karya itu diciptakan , melihat suasana politik saat pembuatan karya seni, melihat latar belakang senimannya, pergaulannya dan sebagainya sesuai dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya.  
2.Aliran Formalisme
Sudut pandang formalisme menyatakan bahwa seni ya hanya berarti bagi seni itu sendiri, nilai maknanya dilihat dari struktur musik itu sendiri.. The meaning in a work art ennet menuliskan pandangan Referensialisme sebagai berikut: “
The absolutist says that to find the meaning in a work of art, you must go to the work itself and attend to the internal qualities which make the work a created thing.In music, you would go to the sounds themselves-melody, rhytme, harmpny, tone color, texture, dynamic, form and attend to what those sound do “ (Reimer, 1989: 16)

3.Aliran Ekspresionisma
Sudut pandang Ekspresionisme menyatakan sebagai berikut:

“Absolute expressionism insist that meaning and value are internal; they are functions of the artistic qualities them selves and how they are organized. But the artistic/cultural influences surrounding a work of art may indeed to be strongly involved in the experience the work gives , because they become part of the internal experience for those aware of these influences.” (Repmer, 1989: 27)

Ekspresinisme memandang bahwa di dalam kesenian makna dan nilai-nilai itu bersifat internal tidak terpisahkan karena merupakan fungsi artistic dan kualitas itu sendiri dan bagaimana kesenian itu diorganisasikan, dibentuk.

C.Rambu-rambu Evaluasi Seni ( Musik )Nusantara.
                Seni musik nusantara adalah seni musik yang ada di seluruh wilayah nusantara   dari Sabang hingga Meraoke. Selain seluruh nusantara memiliki beribu pulau juga sekaligus memiliki lebih dari 640 suku yang tinggal di seluruh wilayah nusantara. Seni musik yang hidup dan berkembang dari ratusan suku masyarakat Indonesia itulah yang merupakan musik nusantara. 
Musik yang hidup, dihidupi serta berkembang milik masyarakat tertentu, milik suku inilah yang menurut Jaap Kunst sebagai wilayah Etnomusikologi , yaitu ilmu musik milik etnis masyarakatnya.(Kunst, 1959). Dalam etnomusikologi ada perspektif tersendiri dalam memandang musik etnis yaitu: (1).Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks    kultural di mana musik itu berada. (selanjutnya dituliskan perspektif 1) . (2) Kriteria Baik dan Buruk sesuai kaidah estetis dan etis masyarakatnya.(selanjutnya dituliskan perspektif 2)  (Harahap dkk, 2000: 3)
Musik Nusantara adalah musik-musik etnis yang berada di seantero Nusantara maka perspektif yang digunakan dalam menilai dan mengkaji khususnya makna  musik nusantara bagi masyarakatnya  akan sangat tepat bila diletakkan pada proporsi  dalam perspektif 1.   Apabila kajian makna simbolik misalnya tidak diletakkan pada perspektif  1 maka akan menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna dan dapat  menimbulkan penilaian buruk bagi masyarakatnya. Kesalahan tafsir misalnya penghakiman isi syair musik, sebagai masyarakat yang tidak mau maju, atau bodoh gara-gara mendengarkan salah satu musik etnis yang isi syirnya berarti jangan membeli baju, jangan membeli baju Oshamalo,  membeli baju sama dengan sengsara, sama dengan kesulitan. Setelah dilihat menurut perspektif 1 ternyata bermakna nasehat agar tidak membeli baju dari orang Oshamalo karena mereka rentenir dan pembuat sengsara masyarakat yang menciptakan lagu tersebut.
Makna lugas dari suatu syair lagu juga kadang bukan dalam arti sebenarnya bila dilihat dengan perspektif 1. Rahayu Supanggah memberikan contoh lagu dolanan anak Jawa dengan judul Koning-koning sebagai berikut:
 Koning-koning kawula kae lara kae lara. Ngenteni si Khodhok langking. Ndok siji kapipilan, ndok loro kacomberan  Doyak-doyak tawon goni  ……    Arti bebas sebagai berikut: Koning, koning (kuning), itulah  saya rakyat yang pada sakit. Menantikan sikatak hitam. Satu telor diambil, dua telor dirusaknya. Doyak-doyak (beramai-ramailah) si lebah madu. …….  Arti tafsir pemaknaan sesuai dengan konteks kultural dan hitorisnya sebenarnya sebagai berikut: Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja), lihatlah para rakyatmu yang pada menderita.  Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak hitam, katak buruk yang tidak ada manfaatnyadan nggak enak dimakan seperti layaknya katak hijau, namun apa hasilnya ?  Anak yang semata wayangpun (telor digunakan sebagai simbul benih keturunan) kamu (bangsawan) ambil, dan telah banyak anak-anak kami lainnya yang kamu rusak, ayau kamu lecehkan.  Kamu dating beramai-ramai bagaikan lebah yang hanya ingin menghisap madu. …….  (Supanggah, 1996: 8)

                Penafsiran, pemaknaan serta memahami fungsi musik bagi masyarakatnya bila tanpa pemahaman (versteken) konetks kultural dimana musik itu berada maka akan sangat mungkin terjadi kesalahan penafsiran makna, apalagi bila penafsirannya berdasarkan cara pandang kita sendiri, pengalaman budaya kita sendiri. James Zanden menuliskan sebagai berikut:
                 We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as insider, seeing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach, termed cultural relativism, suspend judgement and views the behavior of people from the perspective of their own culture” (Zanden, 1988: 69)

                Kriteria baik-buruk musik etnik sesuai dengan  kaidah etis dan estetis masyarakat pendukungnya. Ukuran dan nilai-nilai keindahan musik berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain termasuk  berbagai jenis musik yang ada dalam  masyarakat  tersebut.  Musik gamelan sekaten pada masyarakat lingkungan Keraton sekalipun dapat dianggap bukan musik yang  estetis bila ukuran yang dipakai adalah standar musik barat di mana ada unsur harmoni yang memiliki berbagai jenis akor tingkat satu hinga tingkat tujuh baik dalam tangga nada mayor maupun minor (Pradoko, 2008: 3).  Mengapa seseorang mengatakan musik sekaten bukan musik ? Jawabannya adalah karena musik gamelan sekaten tersebut tidak ada akornya, tidak ada jenis-jenis akord C, A minor, D minor , G dan seterusnya, sehingga disimpulkan sebagai musik yang buruk karena harmoninya tidak ada/tidak memenuhi criteria akor dan sebagainya.. Perdebatan sejenis tentang musik dan bukan musik ini sering terjadi dalam masyarakat,   mengukur estetika dan etika musik  melalui perspektif budaya lain adalah tidak tepat.
                Aturan-aturan serta estetikanya musik seriosa juga termasuk teknik-teknik vokalnya  akan berbeda dengan aturan, etika serta teknik vokal dalam penyanyi sinden, atau penyanyi keroncong atau penyanyi campur sari maupun penyanyi musik lain yang terkait dengan jenis musik etniknya serta kebiasaan budaya masyarakatnya. Sangat berbahaya jika kita menilai penyanyi sinden dengan krtiteria secara teknik vokal seriosa, para penyanyi sinden karakter cempreng  menjadi salah satu cirri karakternya sebab hal ini berhubungan dengan nuansa suara gamelan. Sebaliknya dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa lebih dituntut dengan teknik suara yang lebih bulat, tak boleh cempreng demikian pula untuk para penyanyi paduan suara tidak boleh cempreng . Untuk lebih jelasnya bagaimana suara cempreng yang dimaksud bisa didengarkan ketika kita mendengarkan suara gamelan kemudian muncul suara pesindennya atau para pesindennya. Hal yang berbeda bila kita mendengarkan para penyanyi tungal seriosa maupun festival paduan suara dengan latar musik barat.

D.Kesimpulan
                Pemahaman yang komprehensif tentang arti kebudayaan mampu memberikan referensi untuk mengkaji seni melalui terminology kebudayaan sebab seni merupakan bagian dari kebudayaan  Kajian aspek kebudayaan meliputi 3 hal yaitu aspek sistem pengetahuan, aspeksistem symbol dan aspek budaya material, melalui wujud hasil budaya.
                Penginterpretasian makna seni mencakup 3 model pula yaitu aliran Referensialis, aliran Formalis serta aliran Ekspresionis. Ketiga aliran itu memiliki cara berargumentasi sendiri-sendiri, bagi kita adalah perlu melihat kasusnya dalam mengkaji benda seni yang akan diinterpretasikan maknanya.
                Ukuran nilai estetika dan etika seni budaya nusantara memiliki paradigmanya sendiri-sendiri maka teknik mengevaluasi seninyapun berbeda-beda sesuai ukuran masyarakat dimana seni itu berada, sesuai masyarakat pendukungnya.



Daftar Pustaka


Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Tim). 2005. Paradigma Baru Pendidikan
 Tinggi Seni di Indonesia. Jakarta: Dikti.

Geertz, Cliford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Harahap, Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik
Etnik di Radio

Haviland, William A. 1985. Antropologi. Terjemahan Soekadijo. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff

Muda Hubertus SVD. 1992. Inkulturasi . Ende: Pustaka Candradita.

Parto, Suhardjo. 1989. “Musik Etnisitas dan Abad XX”  Dalam: Musik Seni Barat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pradoko, Susilo. 1995. “Paradigma Emic dan Etic dalam Penelitian Enomusikologi”
                Diksi. Yogyakarta: FBS UNY, hal.170 – 177.

Reimer, Bennet.1989. A.Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice Hall.

Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi, bagaimana ia berbicara ? Makalah
 disampaikan pada penataran peneliti madya. Surakarta: STSI Surakarta.

William Raymon. 1985. “Culture”, Keywords A Vocabulary of Culture and Society.  New York: Oxford
University Press 

Rambu-rambu Paradigma Evaluasi Pembelajaran Seni Musik Nusantara

Rambu-rambu  Paradigma Evaluasi Pembelajaran Seni Musik Nusantara

Susilo Pradoko, M,Si.
Seni Musik FBS UNY


A.Perspektif dalam Kajian Seni Musik Nusantara.
Seni musik nusantara adalah seni musik yang ada di seluruh wilayah nusantara   dari Sabang hingga Meraoke. Selain seluruh nusantara memiliki beribu pulau juga sekaligus memiliki lebih dari 640 suku yang tinggal di seluruh wilayah nusantara. Seni musik yang hidup dan berkembang dari ratusan suku masyarakat Indonesia itulah yang merupakan musik nusantara. 
Musik yang hidup, dihidupi serta berkembang milik masyarakat tertentu, milik suku inilah yang menurut Jaap Kunst sebagai wilayah Etnomusikologi , yaitu ilmu musik milik etnis masyarakatnya.(Kunst, 1959). Dalam etnomusikologi ada perspektif tersendiri dalam memandang musik etnis yaitu: (1).Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks    kultural di mana musik itu berada. (selanjutnya dituliskan perspektif 1) . (2) Kriteria Baik dan Buruk sesuai kaidah estetis dan etis masyarakatnya.(selanjutnya dituliskan perspektif 2)  (Harahap dkk, 2000: 3)
Musik Nusantara adalah musik-musik etnis yang berada di seantero Nusantara maka perspektif yang digunakan dalam menilai dan mengkaji khususnya makna  musik nusantara bagi masyarakatnya  akan sangat tepat bila diletakkan pada proporsi  dalam perspektif 1.   Apabila kajian makna simbolik misalnya tidak diletakkan pada perspektif  1 maka akan menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna dan dapat  menimbulkan penilaian buruk bagi masyarakatnya. Kesalahan tafsir misalnya penghakiman isi syair musik, sebagai masyarakat yang tidak mau maju, atau bodoh gara-gara mendengarkan salah satu musik etnis yang isi syirnya berarti jangan membeli baju, jangan membeli baju Oshamalo,  membeli baju sama dengan sengsara, sama dengan kesulitan. Setelah dilihat menurut perspektif 1 ternyata bermakna nasehat agar tidak membeli baju dari orang Oshamalo karena mereka rentenir dan pembuat sengsara masyarakat yang menciptakan lagu tersebut.
Makna lugas dari suatu syair lagu juga kadang bukan dalam arti sebenarnya bila dilihat dengan perspektif 1. Rahayu Supanggah memberikan contoh lagu dolanan anak Jawa dengan judul Koning-koning sebagai berikut:
 Koning-koning kawula kae lara kae lara. Ngenteni si Khodhok langking. Ndok siji kapipilan, ndok loro kacomberan  Doyak-doyak tawon goni  ……    Arti bebas sebagai berikut: Koning, koning (kuning), itulah  saya rakyat yang pada sakit. Menantikan sikatak hitam. Satu telor diambil, dua telor dirusaknya. Doyak-doyak (beramai-ramailah) si lebah madu. …….  Arti tafsir pemaknaan sesuai dengan konteks kultural dan hitorisnya sebenarnya sebagai berikut: Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja), lihatlah para rakyatmu yang pada menderita.  Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak hitam, katak buruk yang tidak ada manfaatnyadan nggak enak dimakan seperti layaknya katak hijau, namun apa hasilnya ?  Anak yang semata wayangpun (telor digunakan sebagai simbul benih keturunan) kamu (bangsawan) ambil, dan telah banyak anak-anak kami lainnya yang kamu rusak, ayau kamu lecehkan.  Kamu dating beramai-ramai bagaikan lebah yang hanya ingin menghisap madu. …….  (Supanggah, 1996: 8)

            Penafsiran, pemaknaan serta memahami fungsi musik bagi masyarakatnya bila tanpa pemahaman (versteken) konetks kultural dimana musik itu berada maka akan sangat mungkin terjadi kesalahan penafsiran makna, apalagi bila penafsirannya berdasarkan cara pandang kita sendiri, pengalaman budaya kita sendiri. James Zanden menuliskan sebagai berikut:
             We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as insider, seeing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach, termed cultural relativism, suspend judgement and views the behavior of people from the perspective of their own culture” (Zanden, 1988: 69)

            Kriteria baik-buruk musik etnik sesuai dengan  kaidah etis dan estetis masyarakat pendukungnya. Ukuran dan nilai-nilai keindahan musik berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain termasuk  berbagai jenis musik yang ada dalam  masyarakat  tersebut.  Musik gamelan sekaten pada masyarakat lingkungan Keraton sekalipun dapat dianggap bukan musik yang  estetis bila ukuran yang dipakai adalah standar musik barat di mana ada unsur harmoni yang memiliki berbagai jenis akor tingkat satu hinga tingkat tujuh baik dalam tangga nada mayor maupun minor. Mengapa seseorang mengatakan musik sekaten bukan musik ? Jawabannya adalah karena musik gamelan sekaten tersebut tidak ada akornya, tidak ada jenis-jenis akord C, A minor, D minor , G dan seterusnya, sehingga disimpulkan sebagai musik yang buruk karena harmoninya tidak ada/tidak memenuhi criteria akor dan sebagainya.. Perdebatan sejenis tentang musik dan bukan musik ini sering terjadi dalam masyarakat,   mengukur estetika dan etika musik  melalui perspektif budaya lain adalah tidak tepat.
            Aturan-aturan serta estetikanya musik seriosa juga termasuk teknik-teknik vokalnya  akan berbeda dengan aturan, etika serta teknik vokal dalam penyanyi sinden, atau penyanyi keroncong atau penyanyi campur sari maupun penyanyi musik lain yang terkait dengan jenis musik etniknya serta kebiasaan budaya masyarakatnya. Sangat berbahaya jika kita menilai penyanyi sinden dengan krtiteria secara teknik vokal seriosa, para penyanyi sinden karakter cempreng  menjadi salah satu cirri karakternya sebab hal ini berhubungan dengan nuansa suara gamelan. Sebaliknya dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa lebih dituntut dengan teknik suara yang lebih bulat, tak boleh cempreng demikian pula untuk para penyanyi paduan suara tidak boleh cempreng . Untuk lebih jelasnya bagaimana suara cempreng yang dimaksud bisa didengarkan ketika kita mendengarkan suara gamelan kemudian muncul suara pesindennya atau para pesindennya. Hal yang berbeda bila kita mendengarkan para penyanyi tungal seriosa maupun festival paduan suara dengan latar musik barat.
B. Penerapan Perspektif 1, 2 dalam Evaluasi Pembelajaran Seni Musik Nusantara.
1. Karakter Melodi
            Karakter melodi musik nusantara berbeda antar jenis musik yang satu dengan jenis musik yang lain. Salah satu karakter khusus adalah pada jenis tangga nada yang dipakai, aspek ini sangat penting sebab dapat berdampak pada pilihan nada-nada melodi bahkan pada perpaduan nada-nadanya serta peralatan musik yang digunakan. Ada berbagai tangga nada yang dipakai dalam musik nusantara antara lain pelog, slendro, jenis pentatonik lain dengan nada-nada khusus serta tangga nada diatonik.
            Tangga nada pelog model ketepatan frekwensi pada gamelan berbeda-beda antar gemelan satu dengan yang lain namun bila dimiripkan atau sering diitilahkan dengan quasi dengan suara nada-nada diatonis maka suara deretan nada-nadanya adalah nada 3 (mi), 4 (fa), 5 (sol), 7 (si) , 1 (do). Sedangkan  tangga nada Jawa Barat, Sunda disebut dengan da, mi, na , ti, la, da untuk urutan dari suara tinggi bersuara quasi c, b, g, f, e. dengan model tangga nada ini maka ukuran ketepatan melodinyapun menggunakan nada-nada ini, jadi tidak ada bunyi nada 2 (re) maupun 6 (la).  Contoh lagu yang tergolong tangga nada ini misalnya: Lagu Janger (Bali), Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah), Gambang Suling (Jawa), Jenang Gula (Jawa), Yu Batur batur (Sunda)
            Tangga nada slendro bila di-quasi-kan memiliki deretan nada-nada sebagai berikut: 1 (do), 2 (re), 3 (mi) , 5 (sol), 6 (la), tangga nada ini tidak memiliki nada 4 (fa) dan 7 (si), jadi baik dalam permainan musik maupun dalam pengontrolan pitch penyanyi  tanpa muncul nada 4 dan 7. Contoh lagu yang tergolong tangga nada ini misalnya: Tanduk Majeng (Madura),  Gambang Semarang ( Jawa Tengah), Ondel-ondel (Jakarta), Gado-gado (Jakarta).
            Tangga nada untuk daerah-daerah tertentu agak berbeda misalnya Batak Toba, susunan nadanya kurang lebih seperti c, d, e, f, g. Sedangkan Batak Karo nadanya kurang lebih seperti e, f, a, b, c. Masyarakat melayu Sumatera Timur menggunakan 7 nada ( heptatonik), nadanya kurang lebih seperti c, des, e, f, g, a, bes. Sedangkan masyarakat Bogis Sulawesi memiliki pula heptatonis dengan susunan nada seperti a, b, c, d, e, fis, gis namun tidak tepat seperti itu karena memiliki penalaan frekwensi tersendiri. (Harahap, 2005: 79).
            Selain memperhatikan control pitch yang sesuai tangga nadanya masing-masing sesuai karakter daerahnya juga perlu mempertimbangkan jenis musiknya. Salah satu contoh jenis musik kroncong misalnya, keindahan lagunya bukan pada ketepatan bidikan nada-nadanya tetapi keindahannya justru saat penyanyi mampu memberikan tambahan nada-nada yang lain, selain nada yang dituliskan dalan notasi lagu. Para penyanyi keroncong harus bisa memberikan teknik cengkok, tambahan nada-nada untuk menghias lagu; gregel, tambahan nada dengan durasi not yang lebih sedikit dg nada disekitarnya; Ngandul, melodinya justru dilambatkan dari iringan musik namun akhirnya dapat di tepatkan.  Karakter khusus pembawaan keroncong ini tidak didapat dalam musik popular mupun musik seriosa, maka menilai musik keroncong harus dengan aturan-aturan dan estetika yang terdapat dalam musik keroncong dan sebaliknya.


2. Karakter Harmoni  
            Setiap tangga nada musik yang dipakai oleh masyarakat pemusiknya berpengaruh pada harmoni serta aransemen musiknya. Deretan nada-nada dalam tangga nada itulah yang menentukan harmoninya, karena distribusi paduan nada sebenarnya diambil dari nada-nada yang ada dalam tangga nada yang dipakai. Kesalahan perspektif tangga nada berakibat ketidak cocokan dalam menilai maupun memainkan serta membuat harmoninya.
            Sering terjadi kesalahan pada penerapan harmoni akor ini, tangga nadanya penta tonik namun  jenis akornya menggunakan model diatonik sehingga irngan musik menjadi kurang tepat.  Sebagai pendidik bila mengajarkan hal seperti ini maka kita mengajarkan hal yang keliru, karena mengajarkan hal yang keliru maka evaluasi pembelajarannyapun ikut salah. Agar lebih jelas maka mari kita lihat contoh kasus lagu Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah)  antara melodi dengan iringannya, harmonisasinya. Lagu Suwe Ora Jamu ini diberi harmonisasi akor I (C) dan akor IV (F) versi harmoni diatonis sehingga nada-nada harmoninya menjadi tidak tepat, kurang cocok didengarkan sesuai kategori pelog gamelan Jawa. Kita lihat berikut ini contoh lagu dan iringannya.:

Saat melodi birama ke dua diiringi dengan akor I (C) maka masih tepat, cocok sebab isi akor C adalah nada-nada do, mi dan sol hal ini masih sesuai dengan kategori quasi pelog yang memiliki nada-nada mi, fa, sol, si, do ,  masih sesuai  dengan pelog sebab ada nadanya. (nada-nada yang diberi garis bawah). Namun pada akor IV (F) tidak tepat sebab akor F berisi nada-nada fa, la, do sementara quasi pelog tidak memiliki nada la (6). Guna mengatasi hal ini serta agar karakter lagu masih tetap dalam koridor tangga nada  pelog  maka dipilih perpaduan nada-nada sol, si dan fa atau kita dapat mengiringi dengan akor G7 namun nada re (2) tidak kita bunyikan. Sehingga iringannya tampak sebagai berikut:

                                           ( unsur nada do, mi, sol pelog)  (unsur nada sol, si, fa pelog)
Paradigma pelog bila tetap digunakan maka walaupun dengan alat musik keyboard maka suasana pelog jawa akan tetap terbentuk.          
            Lagu-lagu yang menggunakan jenis tangga nada slendro isi quasi nada-nadanya adalah do, re, mi, sol, la. Demikian pula cara memberikan harmonisasi nada-nadanya  menggunakan paradigma tanga nada slendro jadi kita tidak tepat bila menambahkan nada si dan fa untuk iringan/harmonisasi lagu slendro. Berikut kita lihat contoh kasus lagu Tanduk Majang (Madura).

Pada saat memberi harmonisasi dengan memilih akor IV (F) tidak tepat sebab unsure akor f nadanya berbunyi fa, la, do, sementara nada slendro tidak memiliki nada fa. Demikian pula saat memilih, mengiringi dengan akor V (G) tidak tepat sebab akor G memiliki nada-nada sol, si dan re sementara nada slendro tak memiliki suara nada si, maka iringan/harmonisasinya  sebaiknya. menggunakan nada-nada milik anggota slendro saja.

Akor nada: (do,mi,sol masih milik  t.n.slendro )                        (re, sol, la juga slendro)
Sebagai pendidik bila mengajarkan lagu slendro maka akor yang diajarkan untuk mengiringi bukan dengan paradigma harmoni diatonik t.n. mayor ( I,ii, iii, IV, V, vi, vii0) maupun t.n. minor harmonis (i, ii, III+, iv, V, VI,vii0) namun harmoni laras slendro, setidaknya menggunakan nada-nada dalam t.n slendro.
            Dalam kurikulum KTSP ada materi kompetensi standar mengaransir lagu sederhana. Agar aransemennya menjadi nuansa musik nusantara, etnik maka harmoni yang dipilihpun bukan model diatonis namun memilih nada-nada pentatonisnya atau nada-nada yang ada dalam t.n yang digunakan dalam musik nusantara tersebut. Contoh aransemen sederhana dengan 2 suara untuk lagu pelog dan slendro:
Lagu Suwe Ora Jamu , tangga nada quasi pelog:

Dalam aransemen dua suara ini tidak digunakan nada re (d) dan la (6); biasanya bila dengan perspektif diatonis maka suara duanya menjadi urutan nada-nada ini: do re, mi mi , do re mi   .. . ,     do re re mi do re….. dst. 
Lagu Tanduk Majang, tangga nada quasi slendro:
Dalam aransemen dua suara ini tidak menggunakan nada fa (f) dan si (b)., bila dengan diatoni mayor aransemen suara dua jadi: do remi, mifa,mifa,  fa mi do si, aransemen ini tidak tepat dengan suasana nada-nada slendro.

3. Karakter Ritme
            Karakter ritmis musik daerah nusantara banyak yang menggunakan model polifoni, melodi ritmik yang sama, hampir sama saling susul menyusul; penggunaan nada-nada yang lebih kecil dan vairasi ritmiknya; menggunakan nada-nada loncatan 1/16-an, lagu-lagu Batak, Kalimantan.

Polifoni:
Lagu Suwe Ora Jamu.

Dengan nada- nada yang hanya lima maka dengan model polifoni, saling susul menyusul antar melodinya suara satu, dua dan seterusnya maka suasana etniknya menjadi meriah.
Variasi ritmik dengan nilai not yang berbeda namun bisa dengan nada yang sama maupun berbeda namun masih dalam tangga nada yang digunakan.:

            C.Kesimpulan           
            Rambu-rambu fungsi,peranan dan nilai-nilai etika serta estetika musik nusantara  harus dilihat dalam konteks bagi kegunaan masyarakat pendukungnya itu sendiri. Nilai-nilai estetikanya musik Nusantara terletak pada perspektif pemilik budaya musik itu sendiri bukan dengan kriteria budaya yang berbeda. Perspektif dalam etomusikologi ini bila tidak diterapkan sebagai pola gagasan maka sebagai pendidik akan keliru dalam memaknai seni tradisi nusantara dan sekaligus pula keliru dalam penerapan pembelajarannya seterusnya berakibat pada kekeliruan dalam memberikan evaluasi tehadap musik tradisi nusantara.
Daftar Pustaka
Harahap, Irwansyah, Jabatin Bangun dan Ester Siagian 2000. Ethnomusikologi Diktat
            Pelatihan Radio Musik Etnik.

_______________. 2005. Alat Musik Dawai . Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni
             Nusantara

Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff

Parto, F.X Suardjo 1989. “Musik Etnisitas dan Abad XX” Dalam: Musik Seni Barat
            Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradoko, Susilo 1996. “Paradigma Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi.”
            Dalam Diksi.Yogyakarta: FBS IKIP Yogyakarta.

____________ . 2004. ” Teori-teori Realitas Sosial dalam Kajian Musik”.Dalam  Imaji
            Yogyakarta: FBS UNY

Siagian, Esther L. 2005. Gong. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara

Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi bagaimana ia berbicara ? Makalah: Penataran
             Peneliti Madya. Surakarta STSI Surakarta.

Widyawan, Paul. 1976. Ondel-ondel. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Zanden, James W.V. 1988 The Social Experience. New York: Random House Inc.