Anak Didik

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Menuju Pengembangan Paradigma Evaluasi Pendidikan



Oleh: Susilo Pradoko
Hasil uji tingkat internasional bidang penalaran yang diselenggarakan oleh Trends in International Mathemathics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assesment (PISSA) siswa kita dikategorikan sebagai tak cukup bernalar. (Iwan Pranoto, Kompas 20 Feb.2013).Posisi capaian skor Indonesia berjarak 11 negara,  jauh di bawah Malaysia, tergolong terrendah hanya di atas Marocco dan Ghana (TIMSS and PIRLS Achievement 2011). Sementara tingkat tataran menghafal termasuk pada tataran tinggi,  ini menunjukkan bahwa model pembelajaran sekaligus sistem evaluasi pembelajarannya mengakibatkan murid menjadi ahli menghafal namun kurang  dalam  bernalar.
Sekalipun model pembelajaran di kelas dengan sistem bernalar, ujung proses dari pembelajarannya berupa evaluasi  model tes hafalan,  maka proses pembelajaran tadi menjadi kurang berarti, sirna dengan evaluasi akhir. Sebagai contoh, seorang guru A yang dipercaya mengajar dalam kelas selama satu semester namun soal-soal evaluasi akhir semester dibuat oleh Guru B , maka akan terjadi distorsi di sana-sini dari apa yang diberikan oleh A termasuk segala kelebihan dan kurangannya,  dalam hal ini murid yang dirugikan sekalipun keduanya menggunakan garis besar silabus-kurikulum yang sama.   Karenanya para murid  lebih senang mempersiapkan dengan mengantisipasi membahas model soal-soal tes (yang dibuat oleh guru B) demikian halnya dengan model soal-soal ujian yang dibuat pada tingkat nasional, murid dan guru sama-sama mengantisipasi dengan melakukan latihan-latihan soal-jawab ujian nasional.  Model tes hafalan ini mewujud  pada soal-soal yang sifatnya pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan. Jawabannya sebetulnya sudah tersedia, siswa tinggal memilih dari jawaban yang tersedia tersebut dengan menyilang, mencentang, ataupun menghitamkan pada lembar jawaban.
Model tes pilihan ganda yang diterapkan guna mengukur penentuan lulus tidaknya siswa dalam ujian nasional menjadikan alat ukur tersebut menjadi tujuan primadona bagi siswa dan sekolahnya. Melalui model-model soal-soal pilihan ganda tersebut para siswa didrill, dilatih kurang lebih sebulan menjelang mereka ujian, untuk menghafal model soal-soal serta menghitamkan jawaban yang sesuai. Hal inilah yang dilakukan beberapa sekolah menjelang ujian nasional bahkan waktu pembelajaran reguler diberhentikan diganti dengan pembelajaran model latihan soal-soal  tahun sebelumnya atau yang mirip dengan soal-soal pilihan ganda ujian nasional. Mentalitas  ini pulalah yang membuat bimbingan belajar SD,SMP dan SMA sangat laku. Penulis pernah berasumsi bahwa anak-anak SMA tidak perlu sekolah selama 3 tahun, mereka cukup belajar selama 1 tahun melatih model soal-soal ujian nasional beserta kisi-kisinya di bimbingan belajar,  maka mereka akan lulus ujian nasional tingkat SMA. Jika hal ini benar,  maka implikasinya sangat  luas dalam berbagai aspek  pembelajaran di sekolah.
Model soal-soal pilihan ganda ini di satu sisi memang mengandung beberapa keuntungan antara lain: dalam waktu yang singkat mampu memberikan soal yang banyak, cakupan materinya juga bisa lebih banyak, memudahkan untuk mengkoreksi, penghematan waktu koreksi, mekanisasi melalui lembar jawaban dan pemindaian dengan komputerisasi sehingga mampu mengoreksi secara missal dalam waktu yang singkat.  Namun di sisi lain,  unsur penalaran siswa kurang mewujud, proses pola pikir individu tidak terdeteksi, hak individu untuk menguraikan proses berfikir, alasan serta gagasannya selama memperoleh ilmu sejalan dengan capaian paradigmanya tidak dapat terungkap, mengutip Iwan Pranoto: “Satu perusak budaya bernalar paling efektif adalah ujian nasional” (kompas 23 Februari 2013, hal 7). Jawaban soal dalam ujian nasional bisa dilakukan melalui gambling,” menghitung kancing baju”   anak di bawah rata-rata bisa jadi memiliki skor yang tinggi, apa lagi yang mendapat  jawaban soal ujian  tinggal menghitamkan huruf-hurufnya.
Tampaknya model tes ujian pilihan ganda sejalan dengan pemikiran positivisme dimana cirri-ciri pemikiran positivism adalah: metode ilmu pengetahuan alam diterima sebagai fundasi pengetahuan yang valid, Hukum-hukum alam sama dengan hukum-hukum dalam social, universal sain,  hukum berlaku umum,  manusia sebagai obyek observasi empiris melalui rumus-rumus alam yang berlaku universal serta penggunaan metode empiris kuantitatif mewujud berupa penghitungan angka-angka. Penggunaan hipotesa dan menerapkan obyektifikasi terhadap dunia sosial, manusia.
Sebagaimana dikemukakan Schleiermarcher, Dilthey, Gadamer maupun Habermas, jika ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften)  berhubungan dengan fonomena alam yang seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif dianggap tepat diterapkan untuk menjelaskan fenomena alam dan menemukan hukum-hukum alam. Sementara pada ilmu pengetahuan yang termasuk pada Geisteswissenschaften,   maksudnya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora), fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan mudah dipengaruhi lingkungan social budaya. (Metodologi Postmodernis. Akhyar Yusuf Lubis, 2004: 56)
Dalam pandangan aliran pemikiran Postmodern terjadi hubungan dialogis antar subyek dan obyek, the other, liyan, orang lain memperoleh pengakuan, penghargaan maka observasi memungkinkan partisipan mengutarakan pemikiran dan tindakkannya secara alamiah sebab merupakan keunikan dari Geisteswissenschaften tersebut dengan segala aspeknya. Tampaknya dasar pemikiran postmodern inilah yang juga dipakai di Finlandia dimana guru bebas merancang pembelajaran serta sekaligus model evaluasinya, bahkan di sana tidak ada ujian nasional sebagai penentuan kelulusan tingkat dasar dan menengah, namun ternyata justru menduduki rangking paling atas capaian skor  TIMSS 2011 tingkat internasional.
Sejalan dengan paradigma pemikiran postmodern,  anak didik kita adalah pribadi-pribadi yang juga memiliki pemikiran-pemikiran dari hasil proses pendidikan baik dalam lingkungan keluarga maupun terlebih lingkungan sekolah , mereka perlu diberi kesempatan untuk mengungkapkan proses bernalarnya melalui ungkapan tertulis sekaligus penghargaan terhadap pribadi siswa. Sehubungan dengan itu maka model soal-soal tes ujian akhir terlebih ujian nasional bukanlah melulu model pilihan ganda yang sangat mekanik, namun dibuat juga model-model soal uraian sehingga mampu melatih siswa untuk bernalar dan mengungkapkan pendapat berdasarkan ilmu yang telah diterimanya melalui tulisan,  syukur bila memungkinkan melalui lisan, baik itu ilmu-ilmu sain maupun ilmu-ilmu sosial. Di sisi lain memang diakui terdapat kesulitan teknis untuk pengkoreksian model soal-soal uraian khususnya bila diterapkan dalam ujian nasional, namun kiranya dapat didiskusikan dan ditemukan solusinya malalui para ahli pendidikan.
                                                                                    Jakarta, 21 April 2013

Susilo Pradoko
Dosen UNY, studi S3 FIB UI.

0 komentar:

Posting Komentar