Oleh:
Susilo Pradoko
Hasil
uji tingkat internasional bidang penalaran yang diselenggarakan oleh Trends in
International Mathemathics and Science Study (TIMSS) dan Programme for
International Student Assesment (PISSA) siswa kita dikategorikan sebagai tak
cukup bernalar. (Iwan Pranoto, Kompas 20 Feb.2013).Posisi capaian skor
Indonesia berjarak 11 negara, jauh di
bawah Malaysia, tergolong terrendah hanya di atas Marocco dan Ghana (TIMSS and
PIRLS Achievement 2011). Sementara tingkat tataran menghafal termasuk pada
tataran tinggi, ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran sekaligus sistem evaluasi pembelajarannya mengakibatkan murid
menjadi ahli menghafal namun kurang
dalam bernalar.
Sekalipun
model pembelajaran di kelas dengan sistem bernalar, ujung proses dari
pembelajarannya berupa evaluasi model
tes hafalan, maka proses pembelajaran
tadi menjadi kurang berarti, sirna dengan evaluasi akhir. Sebagai contoh, seorang
guru A yang dipercaya mengajar dalam kelas selama satu semester namun soal-soal
evaluasi akhir semester dibuat oleh Guru B , maka akan terjadi distorsi di
sana-sini dari apa yang diberikan oleh A termasuk segala kelebihan dan
kurangannya, dalam hal ini murid yang
dirugikan sekalipun keduanya menggunakan garis besar silabus-kurikulum yang
sama. Karenanya para murid lebih senang mempersiapkan dengan
mengantisipasi membahas model soal-soal tes (yang dibuat oleh guru B) demikian
halnya dengan model soal-soal ujian yang dibuat pada tingkat nasional, murid
dan guru sama-sama mengantisipasi dengan melakukan latihan-latihan soal-jawab
ujian nasional. Model tes hafalan ini
mewujud pada soal-soal yang sifatnya
pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan. Jawabannya sebetulnya sudah tersedia,
siswa tinggal memilih dari jawaban yang tersedia tersebut dengan menyilang,
mencentang, ataupun menghitamkan pada lembar jawaban.
Model
tes pilihan ganda yang diterapkan guna mengukur penentuan lulus tidaknya siswa
dalam ujian nasional menjadikan alat ukur tersebut menjadi tujuan primadona
bagi siswa dan sekolahnya. Melalui model-model soal-soal pilihan ganda tersebut
para siswa didrill, dilatih kurang lebih sebulan menjelang mereka ujian, untuk
menghafal model soal-soal serta menghitamkan jawaban yang sesuai. Hal inilah
yang dilakukan beberapa sekolah menjelang ujian nasional bahkan waktu
pembelajaran reguler diberhentikan diganti dengan pembelajaran model latihan
soal-soal tahun sebelumnya atau yang
mirip dengan soal-soal pilihan ganda ujian nasional. Mentalitas ini pulalah yang membuat bimbingan belajar
SD,SMP dan SMA sangat laku. Penulis pernah berasumsi bahwa anak-anak SMA tidak
perlu sekolah selama 3 tahun, mereka cukup belajar selama 1 tahun melatih model
soal-soal ujian nasional beserta kisi-kisinya di bimbingan belajar, maka mereka akan lulus ujian nasional tingkat
SMA. Jika hal ini benar, maka
implikasinya sangat luas dalam berbagai
aspek pembelajaran di sekolah.
Model
soal-soal pilihan ganda ini di satu sisi memang mengandung beberapa keuntungan
antara lain: dalam waktu yang singkat mampu memberikan soal yang banyak, cakupan
materinya juga bisa lebih banyak, memudahkan untuk mengkoreksi, penghematan
waktu koreksi, mekanisasi melalui lembar jawaban dan pemindaian dengan
komputerisasi sehingga mampu mengoreksi secara missal dalam waktu yang singkat.
Namun di sisi lain, unsur penalaran siswa kurang mewujud, proses
pola pikir individu tidak terdeteksi, hak individu untuk menguraikan proses
berfikir, alasan serta gagasannya selama memperoleh ilmu sejalan dengan capaian
paradigmanya tidak dapat terungkap, mengutip Iwan Pranoto: “Satu perusak budaya
bernalar paling efektif adalah ujian nasional” (kompas 23 Februari 2013, hal
7). Jawaban soal dalam ujian nasional bisa dilakukan melalui gambling,” menghitung kancing baju” anak di bawah rata-rata bisa jadi memiliki
skor yang tinggi, apa lagi yang mendapat
jawaban soal ujian tinggal menghitamkan
huruf-hurufnya.
Tampaknya
model tes ujian pilihan ganda sejalan dengan pemikiran positivisme dimana cirri-ciri
pemikiran positivism adalah: metode ilmu pengetahuan alam diterima sebagai
fundasi pengetahuan yang valid, Hukum-hukum alam sama dengan hukum-hukum dalam social,
universal sain, hukum berlaku umum, manusia sebagai obyek observasi empiris
melalui rumus-rumus alam yang berlaku universal serta penggunaan metode empiris
kuantitatif mewujud berupa penghitungan angka-angka. Penggunaan hipotesa dan
menerapkan obyektifikasi terhadap dunia sosial, manusia.
Sebagaimana
dikemukakan Schleiermarcher, Dilthey, Gadamer maupun Habermas, jika ilmu pengetahuan
alam (naturwissenschaften) berhubungan dengan fonomena alam yang
seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif
dianggap tepat diterapkan untuk menjelaskan fenomena alam dan menemukan
hukum-hukum alam. Sementara pada ilmu pengetahuan yang termasuk pada Geisteswissenschaften, maksudnya
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora), fenomena manusia
dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan hidup, tidak statis,
memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan mudah
dipengaruhi lingkungan social budaya. (Metodologi
Postmodernis. Akhyar Yusuf Lubis, 2004: 56)
Dalam
pandangan aliran pemikiran Postmodern terjadi hubungan dialogis antar subyek
dan obyek, the other, liyan, orang lain memperoleh pengakuan,
penghargaan maka observasi memungkinkan partisipan mengutarakan pemikiran dan
tindakkannya secara alamiah sebab merupakan keunikan dari Geisteswissenschaften tersebut dengan segala aspeknya. Tampaknya
dasar pemikiran postmodern inilah yang juga dipakai di Finlandia dimana guru
bebas merancang pembelajaran serta sekaligus model evaluasinya, bahkan di sana
tidak ada ujian nasional sebagai penentuan kelulusan tingkat dasar dan
menengah, namun ternyata justru menduduki rangking paling atas capaian skor TIMSS 2011 tingkat internasional.
Sejalan
dengan paradigma pemikiran postmodern, anak didik kita adalah pribadi-pribadi yang
juga memiliki pemikiran-pemikiran dari hasil proses pendidikan baik dalam
lingkungan keluarga maupun terlebih lingkungan sekolah , mereka perlu diberi
kesempatan untuk mengungkapkan proses bernalarnya melalui ungkapan tertulis
sekaligus penghargaan terhadap pribadi siswa. Sehubungan dengan itu maka model
soal-soal tes ujian akhir terlebih ujian nasional bukanlah melulu model pilihan
ganda yang sangat mekanik, namun dibuat juga model-model soal uraian sehingga
mampu melatih siswa untuk bernalar dan mengungkapkan pendapat berdasarkan ilmu
yang telah diterimanya melalui tulisan, syukur
bila memungkinkan melalui lisan, baik itu ilmu-ilmu sain maupun ilmu-ilmu sosial.
Di sisi lain memang diakui terdapat kesulitan teknis untuk pengkoreksian model
soal-soal uraian khususnya bila diterapkan dalam ujian nasional, namun kiranya
dapat didiskusikan dan ditemukan solusinya malalui para ahli pendidikan.
Jakarta,
21 April 2013
Susilo
Pradoko
Dosen
UNY, studi S3 FIB UI.